20 Agustus 2013, One Wiharyati # Infak Sedekah # 100.000, Wiwoko Setyowati # Beasiswa Berkah # 180.000, Wiwoko Setyowati # Bahagiakan Yatim Dhuafa # 120.000, Yarjan # infak Sedekah # 14.000, Andi Fajar Kuncoro # infak Sedekah # 100.000, Supriyadi #Wakaf # 50.000, Sri Rahayu # Beasiswa Berkah # 80.000, H. Surachman # Infak Sedekah # 30.000, Ratna Sari # Infak, sedekah # 50.000, Tuti Yulianti # Zakat Profesi # 150.00, Ike # Yatim & Dhuafa # 200.000, Hamba Allah # Infak, Sedekah # 100.000, SN # Beasiswa Berkah # 90.000, SN # Infak Sedekah # 10.000, Siti Halimah # Zakat Maal # 50.000, Siti Halimah # Yatim & Dhuafa # 50.000,Ike # Infak Sedekah # 100.000, Sri Rahayu # Ujroh # 20.000, Siti Halimah # Ujroh # 10.000, Muhidin # Zakat Maal # 300.000, Hendro # Beasiswa Berkah # 1.852.000, 22 Agustus 2013, Hj. Zubaedah # Infak/sedekah # 15.000,Sabila Bagus Panuntun # Infak/sedekah # 15.000, Hj. Muchibah # Infak/sedekah # 15.000, Muhammad Nurrahman # Beasiswa berkah # 40.000, Budiono # infak sekedekah # 20.000, Ruminah #infak/sedekah # 10.000, Bardan #Infak/sedekah # 25.000, Purnowati #Beasiswa Berkah # 40.000,Ida #infak/sedekah # 30.000, Hj. Khudori # Bahagiakan Yatim Dhuafa # 100.000,Purnowati # infak/sedekah # 10.000, BMT Al_Amanah #SHU # 100.000, H. Warisno # SHU # 100.000, Gianto #Infak Sedekah # 20.000, Bagus Woro H. # Infak/sedekah # 428.500, Hj. Khudori # Ujroh # 5.000

Video

28 Juli 2013# bapak Panggih # 200.000 I Infak sedekah, Bapak bambang Hargianto # 35.700 I IKS, Ibu Sri Kadarsih # 50.000 I Wakaf, Sdr. Dyah Ayu # 50.000 I Yatim Dhuafa, Ibu Dwi Arini S. # 50.000 I Bahagiakan Yatim Dhuafa, Ibu Sunartono # 13.400 I KCS, Ibu Rizki 158.300 I IKS 29 Juli 2013 Ibu Ibu Ari Hesni Irawati # 50.000 I Infak sedekah, Sdr. Shafana Calista Bella # 31.000 I Keluarga Cinta Sedekah, Mutiara Ramadhani # 105.400 I Keluarga Cinta Sedekah,01 Juli 2013 Rahmat Daniar #9.000 I Keluarga Cinta Sedekah, Sabrina Ghina Salma # 61.500 I Keluarga Cinta Sedekah, Aini Firdaus #100.000 I Zakat Profesi, Ibu Kasimin # 40.000 I infak sedekah, Hamba Allah # 20.000 I Infak sedekah

kk

hhh

Jumat, 23 Agustus 2013

Buka Bersama Yatim, Dhuafa dan Dai

Pada tanggal 29 Juli 2013 Baitul Maal Hidayatullah Cabang kebumen mengadakan Buka bersama bersama Yatim Dhuafa dan Dai, Acara tersebut diselenggarakan di Kampus Pendidikan Hidayatullah Kebumen Jl. tentara Pelajar No. 48 (Kompleks Islamic Center) Kebumen. Acara ini mengundang anak yatim dhuafa di sekitar kecamatan kebumen dan para dai yang ikut bergabung dengan POS Dai Hidayatullah Kebumen. Selain buka bersama juga di isi Tauziyah oleh Ust. Akhmad Yasin selaku Ketua Pimpinan Daerah Hidayatullah Kebumen. Sekitar 175 peserta sangat antusia mendengarkan pemaparan pemateri.

Rabu, 21 Agustus 2013

Bahaya merokok bagi kesehatan kita

bahaya-rokok  
Sebelum kita perlu mengetahui dahulu elemen apa saja yang terkandung dalam rokok. ROKOK mengandungkurang lebih 4000 elemen-elemen,dansetidaknya 200 diantaranya dinyatakan bahaya bagi kesehatan.Racun utama pada rokok adalah tar,nikotin,dan karbon monoksida.Tar adalah hirokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru
Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah.Zat ini bersifat karsinogen,dan mampu memicu terjadinya kangker paru-paru.Karbon monoksida adalah Zat yang mengikat hemoglobin dalam darah,membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.
Efek Racun, Efek racun pada rokok ini membuat asap rokok mengalami resiko lebih besar di banding yang tidak menghisap asap rokok,perbandingannya adalah sebagai berikut:14x menderita kanker paru-paru,mulut,dan tenggorokan      

4x menderita kanker esopagus
2x kanker kandung kempih
2x serangan jantung
Rokok juga meningkatkan resiko kefatalan bagi penderita pneumonia dan gagal jantung,serta tekanan darah tinggi.
Batas aman,menggunakan rokok dengan kadar nikotin rendah tidak akan membantu,karena untuk mengikuti kebutuhan akan zat adiaktif itu,perokok cenderung menyedot asap rokok secara lebih keras,
lebih dalam dan lebih lama
Analisis kebiasaan,lakukan analisis atas kebiasaan-kebiasaan merokok yang telah di lakukan selama ini,misalnya:kapan anda secara otomatis ingin merokok:hasil analisis ini akan membantu dalam mengerem keinginan merokok.
Susun daftar alasan,lakukan segala hal yang membuat anda tidak kembali merokok,selalu ingat alasan-alasan yang mendasari anda untuk tidak merokok,jika perlu susun daftar alasan itu,seperti;menghindari kanker,gagal jantung,gangguan pencernaan,kehidupan sosial yang lebih baik,ingat kesehatan dan kepentingan keluarga,makan lebih enak.
Langsung berhenti,pilihlah sebuah hari di mana anda akan berhenti,dan pada hari itu,langsung berhenti total tanpa melakuakan tahapan-tahapan,umumnya rencana anda kepada orang-orang terdekat anda agar mereka bisa membantu.
Waspada pada hari-hari awal,hari-hari awal akan terasa sangat berat,cobalah mengalihkan perhatian dengan mengkonsumsi permen atau permen karet,tanpa gula,sementara waktu,kurangilah kegiatan yang berkaitan dengan rokok.

Nikmati Hidup,uang seharusnya di pakai untuk membeli rokok dapat di pakai untuk membeli hadiah bagi diri sendiri atau di tabung.
Konsumsi Rendah Kalori,selama minggu-minggu pertama { sampai kira-kira empat minggu },makanlah makanan yang mengandung kalori tendah.minumlah air yang banyak!                       

Berikut adalah beberapa dampak bahaya merokok bagi tubuh Manusia :

Reproduksi dan Fertilitas
: Pengaruh dari merokok terhadap reproduksi dan kesuburan cukup fatal. Merokok dapat meningkatkan risiko impotensi, kerusakan sperma, mengurangi jumlah sperma dan menyebabkan kanker testis.

Mulut dan Gigi: Merokok dapat menyebabkan bau mulut dan gigi bernoda. Hal ini juga dapat menyebabkan penyakit gusi dan kerusakan indera perasa. Penyebab paling serius dari merokok pada area ini adalah peningkatan risiko mengembangkan kanker pada lidah, tenggorokan, dan bibir.
Kulit: Merokok mengurangi jumlah oksigen ke kulit sehingga dapat mempercepat penuaan dan kulit tampak abu-abu.
Tulang: Merokok dapat menyebabkan tulang cepat lemah dan rapuh. Wanita terutamanya, 5-10% lebih mungkin untuk menderita osteoporosis dibandingkan non-perokok.
Perut: Merokok dapat meningkatkan kemungkinan terkena kanker perut dan resiko kanker ginjal, pankreas dan kandung kemih.
Paru-paru: Merokok menyebabkan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). PPOK adalah penyakit progresif yang membuat seseorang sulit untuk bernapas. Banyak perokok tidak tahu bahwa mereka telah terkena penyakit ini hingga sudah terlambat. Tidak ada obat untuk penyakit ini dan tidak ada cara untuk membalikkan kerusakan.
Jantung: Karbon monoksida dari rokok mencuri oksigen darah dan mengarah pada pengembangan kolesterol mengendap di dinding arteri. Efek ini meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.

Doa untuk mendapatkan jodoh yang terbaik dan sesuai harapan

 Dewasa ini menikah telah menjadi persoalan yang sangat pelik dan besar bagi banyak pihak. Persoalan yang mengganjal kemudahan dan kelancaran pernikahan tidak sebatas factor biaya pernikahan yang besar saja. Dalam beberapa keadaan, persoalannya bahkan berakar kepada faktor pemilihan dan penentuan calon pasangan hidup.
Banyak pemuda kebingungan mencari gadis yang akan dijadikan calon istri. Dalam zaman yang diwarnai oleh emansipasi wanita ala negara-negara kafir Barat ini, mencari sosok calon istri yang baik pemahaman dan pengamalan agamanya, baik akhlaknya, baik garis keturunan keluarganya —syukur-syukur cantik wajahnya dan kaya harta— bukan pekerjaan mudah.
Para gadis lebih pusing lagi. Jumlah kaum wanita yang lebih banyak dari jumlah kaum pria merupakan sebuah persoalan tersendiri. Apalagi gadis biasanya relatif pasif dan hanya menunggu bola. Maka memilih seorang calon suami yang baik pemahaman dan pengamalan agamanya, baik akhlaknya, baik garis keturunan keluarganya —syukur-syukur tampan wajahnya dan mapan pekerjaannya— sungguh pekerjaan yang sulit.
Saking sulitnya, terkadang menantikan kedatangan seorang pemuda muslim yang rajin shalat lima waktu secara berjama’ah, tidak merokok dan bukan pengangguran saja —kriteria yang sebenarnya tak muluk-muluk— butuh waktu yang entah berapa lama, hanya Allah yang tahu.
Semua pemuda dan gadis tentu berharap dimudahkan dan dilancarkan oleh Allah dalam urusan mendapatkan jodoh dan membangun ikatan rumah tangga. Banyak di antara mereka bertanya-tanya kepada para kyai, ustadz dan murabbi (pembimbing ruhaninya), tidak adakah doa dari Al-Qur’an atau hadits nabawi untuk mendapatkan jodoh yang ideal dan sesuai dengan harapan?
Sebagai agama yang memberikan panduan bagi seluruh aspek kehidupan manusia, sudah tentu Islam mengajarkan doa yang ditanyakan tersebut. Persoalannya, seringkali orang terpaku pada penyebutan lafal “istri yang shalihah” atau “suami yang shalih” misalnya, sehingga merasa merasa tidak ada doa dalam Al-Qur’an atau hadits nabawi yang secara khusus berkaitan dengan permintaan kemudahan mendapatkan pasangan hidup yang ideal.
Islam adalah agama yang memberi panduan dalam semua persoalan kehidupan umat manusia. Perkara yang besar sampai perkara yang kecil, urusan pengelolaan negara sampai urusan buang air kecil, semuanya ada tuntunannya dalam Al-Qur’an dan as-sunnah.
Dalam perkara-perkara yang bersifat baku dan tidak mengalami perubahan dengan adanya perubahan tempat dan zaman, Islam memberi panduan yang sifatnya rinci. Misalnya persoalan akidah, akhlak mulia dan akhlak tercela, ibadah-ibadah ritual, hukum pidana, pernikahan dan yang berkaitan dengannya, warisan dan yang berkaitan dengannya.
Adapun dalam perkara-perkara yang bisa berubah mengikuti perubahan zaman dan tempat, Islam memberi panduan secara global. Perinciannya diserahkan kepada ijtihad ulama’ dan umara’ kaum muslimin. Misalnya teknis pengelolaan politik, ekonomi, militer, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Nash-nash Al-Qur’an dan hadits nabawi memiliki sifat jawami’ al-kalim. Maksudnya adalah lafalnya ringkas, namun maknanya sangat luas dan mengandung pelajaran yang sangat dalam. Demikian pula halnya dengan doa-doa yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits nabawi, lafalnya ringkas-ringkas namun maknanya sangat luas dan sudah mencakup semua hal yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia.
Meskipun berdoa itu sifatnya bebas, dengan bahasa apapun dan lafal apapun sesuai kebutuhan orang yang berdoa, namun Islam juga memberikan panduan kepada umatnya untuk membiasakan diri berdoa dengan doa-doa yang bersifat jawami’ al-kalim. Sepantasnya seorang muslim berdoa dengan doa-doa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan as-sunnah, karena lafal dan kandungan maknanya tentu lebih baik dari doa-doa yang dirangkai dengan kata-kata kita sendiri, yang biasanya lafalnya panjang lebar namun kandungan maknanya tidak luas.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنَ الدُّعَاءِ، وَيَدَعُ مَا سِوَى ذَلِكَ»
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menyukai doa-doa yang jawami’ (ringkas lafalnya namun luas dan dalam maknanya) dan meninggalkan doa-doa selainnya.” (HR. Abu Daud no. 1482, Ahmad no. 25151, Ibnu Hibban no. 867, Ath-Thayalisi no. 1491, Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar no. 6029, Al-Hakim no. 1978 dan Ibnu Abi Syaibah no. 29165. Dishahihkan oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Al-Albani)
Sekarang marilah kita perhatikan sebagian doa dalam Al-Qur’an dan as-sunnah yang menuntun seorang pemuda dan gadis untuk mendapatkan pasangan hidup yang ideal dan sesuai harapannya. Jika dikaji secara mendalam, bisa jadi akan banyak ditemukan doa-doa tersebut. Di sini kita akan menyebutkan sebagiannya saja yang mudah:

Pertama

Doa yang diajarkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Wahai Rabb kami, berikanlah kami kebaikan di dunia, kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari azab neraka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 201)
Lafal kebaikan di dunia dalam ayat di atas adalah jawami’ al-kalim. Lafal kebaikan di dunia sudah mencakup calon istri yang shalihat, calon suami yang shalih, dan makna-makna lainnya.
Saat menjelaskan makna ayat tersebut, imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi berkata: “Doa ini telah mengumpulkan semua kebaikan di dunia dan menjauhkan dari semua keburukan di dunia. Karena kebaikan di dunia itu mencakup segala hal yang diinginkan di dunia, berupa kesehatan, rumah yang luas, istri yang baik (atau suami yang baik, pent), rizki yang luas, ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih, kendaraan yang nyaman, pujian yang baik dan lain-lainnya yang telah disebutkan dalam ungkapan para ulama tafsir. Tidak ada kontradiksi antara pendapat-pendapat mereka tersebut, karena semuanya termasuk dalam cakupan makna kebaikan di dunia.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/558)
Oleh karena begitu hebatnya doa ini, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam selalu membacanya. Bahkan ia adalah doa yang paling banyak dibaca oleh beliau. Sebagaimana dituturkan oleh pelayan beliau, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اللَّهُمَّ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ»
“Doa yang paling banyak dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salama adalah doa: “Ya Allah, ya Rabb kami, berikanlah kami kebaikan di dunia, kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari azab neraka.” (HR. Bukhari no. 6389 dan Muslim no. 2690)

Kedua

Doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّرِّ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu seluruh kebaikan, yang disegerakan (di dunia) maupun yang diakhirkan (di akhirat), yang saya ketahui maupun yang tidak saya ketahui.
Dan aku berlindung kepada-Mu dari seluruh keburukan, yang disegerakan (di dunia) maupun yang diakhirkan (di akhirat), yang saya ketahui maupun yang tidak saya ketahui.” (HR. Ahmad no. 25019, Ibnu Majah no. 3846, Ibnu Abi Syaibah no. 29345, Ibnu Hibban no. 869, Abu Ya’la no. 4473 dan Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar no. 6026. Hadits shahih)
Kebaikan yang disegerakan di dunia dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas sudah mencakup istri yang shalihat dan suami yang shalih bagi orang yang telah menikah, juga mencakup calon istri yang shalihat dan calon suami yang shalih bagi orang yang belum menikah.
Keburukan yang disegerakan di dunia dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas sudah mencakup istri yang buruk dan suami yang buruk (baik dari segi ilmu agama, akhlak, harta, nasab maupun fisik) bagi orang yang telah menikah, juga mencakup calon istri yang buruk dan calon suami yang buruk (baik dari segi ilmu agama, akhlak, harta, nasab maupun fisik) bagi orang yang belum menikah.
Satu doa dari Al-Qur’an dan satu doa dari hadits di atas sebenarnya sudah mencukupi kebutuhan orang-orang yang menginginkan pasangan hidup yang bisa menemaninya dalam menggapai kebahagian dunia dan akhirat.
Jika setelah itu masih ingin memanjatkan doa-doa tambahan dengan lafal-lafal yang disusun sendiri atau disusun oleh kyai dan ustadz, misalnya, maka tidak mengapa. Sebaiknya selalu dilantunkan juga bagian akhir dari doa dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas yang berbunyi:
وَأَسْأَلُكَ أَنْ تَجْعَلَ كُلَّ قَضَاءٍ قَضَيْتَهُ لِي خَيْرًا
Dan aku memohon kepada-Mu agar menjadikan setiap ketetapan (takdir) yang Engkau tetapkan untukku sebagai (takdir) kebaikan.” (HR. Ahmad no. 25019, Ibnu Majah no. 3846, Ibnu Abi Syaibah no. 29345, Ibnu Hibban no. 869, Abu Ya’la no. 4473 dan Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar no. 6026. Hadits shahih)
Saudaraku muslim dan muslimah di manapun Anda berada…
Semoga Allah Ta’ala mengaruniakan kepada Anda pasangan hidup yang terbaik bagi Anda dan memudahkan Anda menggapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat. Amien.
(Sumber : arrahmah.com)

Fatwa-Fatwa Seputar Idul Kurban

Fatwa-fatwa Seputar Idul Kurban (1)
Para pembaca yang budiman, berikut ini fatwa-fatwa seputar Idul Kurban yang penting diketahui oleh kaum muslimin, terkhusus bagi saudara-saudara yang hendak berkurban. Fatwa-fatwa tersebut kami sajikan dalam bentuk soal-jawab agar lebih menyentuh masing-masing permasalahan. Wallahul muwaffiq.
Soal: Apa saja yang dilarang bagi orang yang hendak berkurban?
Jawab: Disyari’atkan bagi orang yang hendak berkurban ketika telah muncul hilal bulan Dzulhijjah (tanggal 1 Dzulhijjah) agar tidak memotong rambut, kuku, dan kulitnya sampai binatang kurbannya disembelih. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:
“Apabila kalian telah melihat hilal bulan Dzulhijjah (tanggal 1 Dzulhijjah) sedangkan salah seorang diantara kalian hendak berkurban, maka hendaknya ia menahan diri dari memotong rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain:
“Apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian hendak berkurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kulitnya sedikitpun.” (HR. Muslim)
Larangan ini hanya berlaku bagi orang yang akan berkurban, dan tidak berlaku bagi keluarganya, baik yang menyembelih sendiri atau yang mewakilkan kepada orang lain. (Lihat Fatawa Lajnah Da’imah no. 2194)
Soal: Apa saja syarat-syarat hewan kurban?
Jawab: Syarat-syarat hewan kurban ada empat;
Syarat pertama: hewan kurban harus dari jenis hewan yang telah ditetapkan dalam syari’at untuk dijadikan kurban, yaitu unta, sapi, dan kambing. Oleh karenanya, jika berkurban berupa kuda, maka kurban tersebut tidak sah. Hal ini karena kuda bukan dari jenis yang ditetapkan syari’at sebagai hewan kurban, walaupun bisa jadi harganya lebih mahal dari unta, sapi, atau kambing. Dalilnya adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Syarat kedua: hewan kurban telah mencapai batasan umur minimal yang ditetapkan syari’at. Jika kambing jenis domba, maka telah mencapai usia setengah tahun. Jika kambing kacang/jawa (ma’iz) telah genap berumur setahun, sedangkan sapi telah genap berumur dua tahun, dan unta telah genap berumur lima tahun. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Janganlah kalian menyembelih hewan kurban, kecuali bila hewan tersebut telah mencapai usia musinnah (unta berumur lima tahun, sapi berumur dua tahun, kambing berumur satu tahun). Namun jika kalian kesulitan, maka silahkan menyembelih domba yang telah berumur enam bulan (jadza’ah).”
Syarat ketiga: hewan kurban tersebut selamat dari cacat yang membuatnya tidak layak untuk dikurbankan. Hal ini telah disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Empat bentuk cacat yang tidak boleh ada pada hewan kurban: buta sebelah matanya yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya dan kurus yang tidak bersumsum.” (HR. Abu Dawud)
Keempat cacat tersebut menghalangi keabsahan hewan kurban. Bila seseorang menyembelih hewan kurban berupa kambing yang matanya buta sebelah dan jelas butanya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang sakit yang jelas sakitnya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang pincang yang jelas pincangnya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang kurus sekali (yang tidak bersumsum), maka kurbannya tidak diterima. Begitu pula yang lebih parah dari cacat yang telah disebutkan di atas, seperti buta kedua matanya, putus kakinya, tertimpa sesuatu yang menjadi penyebab kematiannya seperti induk yang kesulitan dalam melahirkan anak -kecuali bila melahirkan dengan selamat-. Begitu pula dengan yang tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk/tertusuk benda tajam, atau digigit hewan buas. Bila seseorang berkurban dengan hewan kurban yang semisal ini, maka kurbannya tidak diterima. Karena yang demikian itu lebih tidak pantas/tidak layak untuk dipersembahkan sebagai kurban. Adapun cacat-cacat lain yang lebih ringan dari yang disebutkan di atas, seperti telinganya terpotong, tanduknya patah, ekornya putus, maka berkurban dengan hewan kurban seperti ini masih diterima. Meskipun padanya terdapat sedikit cela/cacat. Tidak ada perbedaan antara yang terpotong, patah, atau putus sedikit ataupun banyak. Sampai-sampai seandainya tanduk hewan kurban tersebut patah keseluruhannya pun masih diterima/sah bila berkurban dengannya. Begitu pula dengan telinga atau ekornya. Namun, semakin sempurna hewan kurban tersebut, semakin afdhal (utama) untuk dipersembahkan sebagai hewan kurban.
Syarat yang keempat: Penyembelihan hewan kurban tersebut harus dilaksanakan di waktu yang telah ditentukan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, yakni dari setelah shalat Idul Adha sampai akhir hari tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah-red). Batas waktunya selama 4 (empat) hari, yaitu mulai setelah shalat Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Barangsiapa menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat Id, maka kurbannya tidak sah, walaupun ia seorang yang belum mengerti tentang waktu sahnya penyembelihan kurban. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam saat beliau berkhutbah: “Barangsiapa menyembelih hewan kurban sebelum shalat Id, maka kurbannya tidak sah.” Kemudian berdirilah seorang pria yang bernama Abu Burdah bin Niyar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berkurban/menyembelih hewan kurbanku sebelum shalat Id,” maka beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Kambingmu itu kambing sembelihan biasa,” beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda: “Barangsiapa menyembelih hewan kurban sebelum shalat, maka kurbannya tidak sah,” dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda: “maka hendaklah ia menyembelih yang lain sebagai gantinya (di waktu yang sah untuk menyembelih-red).” Barangsiapa menyembelih hewan kurban setelah berakhirnya hari tasyriq, maka kurbannya tidak sah. Hal itu karena ia menyembelih diluar waktunya. Jadi syarat-syarat penyembelihan hewan kurban adalah sebagai berikut:
1. dari jenis binatang ternak (yang telah ditetapkan dalam syari’at untuk menyembelih dengannya-red), yaitu unta, sapi, dan kambing.
2. telah mencapai umur yang ditetapkan syari’at: yaitu mencapai usia musinnah yaitu 5 tahun untuk unta, 2 tahun untuk sapi, dan 1 tahun untuk kambing kacang/jawa (ma’iz); atau usia jadza’ah (6 bulan) untuk domba.
3. selamat dari empat cacat yang telah disebutkan di atas.
4. dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Adapun yang lebih mencocoki syari’at dalam masalah jumlah hewan yang akan dikurbankan adalah tidak berlebihan jumlahnya. Sebagaimana telah dicontohkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para salafush shalih, seorang muslim berkurban untuk dirinya sendiri, dan keluarganya dengan satu hewan kurban. Namun pada masa ini, seorang istri datang kepada suaminya seraya mengatakan: “Aku ingin berkurban”, kemudian datang putrinya mengatakan: “Aku ingin berkurban”, lalu datang saudarinya mengatakan: “Aku ingin berkurban”, sehingga dalam sebuah rumah tersebut terkumpul beberapa kurban. Hal ini menyelisihi apa yang telah dilakukan para salafush shalih. Sungguh, manusia termulia, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, tidaklah berkurban kecuali dengan satu hewan kurban untuk dirinya dan keluarganya. Padahal, sebagaimana yang telah diketahui, beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memiliki sembilan istri (yang berarti beliau juga memiliki sembilan rumah). Bersamaan dengan itu, tidaklah beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkurban kecuali dengan satu hewan kurban, untuknya dan keluarganya. Dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkurban satu lagi untuk ummatnya. (Lihat Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dalam Liqo` Al-Bab Al- Maftuh)
Soal: Apa perbedaan antara takbir mutlak dan takbir muqayyad pada hari Idul Fitri dan Idul Adha? Kapan dimulainya dan kapan berakhirnya? Tolong beri kami penjelasan! Semoga Allah membalas kebaikanmu.
Jawab: Perbedaan antara takbir mutlak dan takbir muqayyad ialah, bahwa takbir mutlak dilakukan pada setiap waktu, sedangkan takbir muqayyad dilakukan setiap selesai dari shalat lima waktu pada hari raya Idul Adha saja. Takbir mutlak pada hari raya Idul Adha dimulai semenjak masuk bulan Dzulhijjah sampai akhir hari tasyrik yaitu pada hari ketiga setelah Id. Adapun pada hari raya Idul Fitri semenjak masuk bulan Syawwal sampai ditegakkannya shalat Idul Fitri. Takbir muqayyad sebagaimana dikatakan para ulama, dilakukan setelah selesai shalat fajar (subuh) pada hari ‘Arafah sampai berakhirnya hari-hari tasyrik. (Ditulis pada tanggal 2 Dzulhijjah 1415H. Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al- ‘Utsaimin no. 5831)
Soal: Siapakah yang berhak untuk diberi daging hewan kurban, dan apa hukumnya memberikan daging kurban kepada orang yang menyembelihkan hewan kurban tersebut? Bagaimana hukumnya menunda pembagian daging kurban (bukan pada hari disembelihnya hewan kurban tersebut)?
Jawab: Orang yang berkurban hendaklah memakan sebagian dari hasil sembelihannya. Sebagian dari hasil sembelihannya yang lain hendaknya diberikan kepada orang-orang fakir miskin agar mereka dapat menutupi kebutuhan pada hari itu. Juga kepada karib kerabat sebagai perwujudan silaturrahim (menyambung tali persaudaraan). Kemudian kepada tetangga agar timbul kerukunan dalam bertetangga dan saling tolong menolong. Serta kepada teman-teman untuk mempererat dan memperkuat tali persaudaraan sesama muslim. Bersegera dalam memberikan hasil sembelihan di hari raya Idul Adha lebih baik dibanding menundanya sampai hari kedua dan setelahnya. Karena yang demikian dapat melegakan, dan memberikan kegembiraan kepada mereka di hari itu. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah ‘Azza wa Jalla
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
: “Bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan (bersegera) menuju surga yang seluas langit dan bumi.” (Ali Imron: 133).
Juga firman-Nya
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ
(yang artinya): “Maka bergegaslah melakukan kebaikan.” (Al- Baqarah: 148)
Tidak mengapa memberikan daging hasil sembelihan pada orang yang menyembelihkan hewan kurban, namun jangan diniatkan sebagai imbalan untuknya. Jika ingin memberi imbalan, maka hendaknya diberi dari selain daging hasil sesembelihan. Wa billahit taufiq. (Lihat Fatawa Lajnah Da’imah no. 5612)
Wallahu ta’ala a’lam bish showab
Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/?p=534
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=552)
Fatwa-fatwa Seputar Idul Kurban (2)
Para Pembaca rahimakumullah, edisi kali ini merupakan kelanjutan dari edisi sebelumnya dengan judul Fatwa-fatwa Seputar Idul Kurban. Kami angkat beberapa permasalahan penting terkait dengan beberapa jenis ibadah yang bisa diamalkan di bulan Dzulhijjah. Selamat menyimak dan semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Soal: Apa hukum berpuasa pada sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah?
Jawab: Puasa pada hari-hari tersebut adalah sunnah (mustahab), karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menganjurkan dan mendorong umatnya untuk melakukan amalan-amalan sholih pada hari-hari tersebut, dan puasa termasuk bagian dari amalan-amalan sholih. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:
“Tidak ada hari-hari dimana amalan sholih didalamnya lebih Allah cintai daripada sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhijjah.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bukan pula jihad di jalan Allah? Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Bukan pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar (untuk berjihad di jalan Allah-red) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali darinya (jiwa dan hartanya) sedikitpun.” (HR. Al-Bukhari no. 969, dan At-Tirmidzi no. 757)
Walaupun dahulu Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak sering berpuasa pada hari-hari tersebut. Telah diriwayatkan bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpuasa pada hari-hari tersebut karena kekhawatiran beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam akan dianggap wajib oleh umatnya. Diriwayatkan pula bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa pada hari-hari tersebut. Akan tetapi, yang lebih utama menjadi patokan adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, karena sabda beliau lebih didahulukan daripada perbuatan. Jika terkumpul antara perkataan dan perbuatan, maka keduanya saling menguatkan. Oleh karena itu, perkataan terhitung sebagai dalil tersendiri, perbuatan sebagai dalil tersendiri, dan taqrir (persetujuan) pun sebagai dalil tersendiri. Yang paling utama dan paling kuat sebagai hujjah (dalil) adalah perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, kemudian perbuatan beliau, dan setelahnya persetujuan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidak ada hari-hari yang amalan sholih didalamnya lebih Allah cintai daripada hari-hari ini, yakni sepuluh hari (pertama bulan Dzulhijjah).” (HR. Al-Bukhari no. 926, At-Tirmidzi no.757, Abu Dawud no. 2438, Ibnu Majah no. 1727, Ahmad 1/224, dan Ad-Darimi no. 1773)
Apabila seseorang berpuasa atau bershadaqah pada hari-hari tersebut, ia berada dalam kebaikan yang sangat besar. Disyari’atkan pula pada hari-hari tersebut untuk memperbanyak takbir (Allahu Akbar), tahmid (Alhamdulillah), dan tahlil (Laa ilaha illallah), dengan dalil sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:
“Tidak ada hari-hari yang lebih besar di sisi Allah, dan lebih dicintai-Nya dengan melakukan amalan-amalan sholih didalamnya daripada sepuluh hari (awal bulan Dzulhijjah) ini. Oleh karenanya, perbanyaklah untuk bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.” (HR. Ahmad 2/75)
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Baz 14/419)
Hukum-hukum Sholat Dua Hari Raya
Soal: Apabila seorang makmum tertinggal satu rakaat pada sholat Id, apakah wajib untuk bertakbir beberapa kali sebagaimana takbirnya imam sebelum membaca Al-Fatihah ataukah tidak?
Jawab: Barangsiapa yang tertinggal sholat Id atau sholat Istisqo` (meminta hujan), maka disukai (mustahab/sunnah) baginya untuk menggantinya (mengqodho`) sebagaimana tata cara sholat Id dilakukan. Jika tertinggal seluruhnya, maka hendaknya ia mengganti (mengqodho`) sholat seluruhnya sebagaimana tata cara sholat Id, termasuk diantaranya melakukan takbir-takbir tambahan setelah takbiratul ihram. Demikian juga bila ia terlewat sebagiannya, seperti tertinggal rakaat pertama misalnya, maka hendaknya ia tetap sholat mengikuti imam sampai imam tersebut mengucapkan salam. Setelah itu, barulah ia menyempurnakan sholatnya sesuai jumlah rakaat yang ia tertinggal, dan dilakukan sebagaimana tata cara sholat Id, yaitu dengan melakukan takbir-takbir setelah takbiratul ihram. Hal ini karena tata cara qodho` sholat Id (secara sendirian) seperti tata cara ketika menunaikannya (secara berjamaah). Wallahu a’lam. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan no. 143)
Soal: Apa hukum orang yang tertinggal sholat Idul Fitri atau Idul Adha? Apakah ia menggantinya (qodho`) sebagaimana tata cara sholat Id atau cukup dengan melakukan sholat 2 (dua) rakaat saja atau apa yang mesti ia dilakukan? Kami mohon fatwanya. Jazakumullohu khoiron (Semoga Allah membalas kebaikan Anda).
Jawab: Barangsiapa yang tertinggal sholat Id, maka boleh meng-qodho`-nya (menggantinya) dengan sholat 2 (dua) rakaat, yang ia bertakbir dengan takbir-takbir tambahan setelah takbiratul ihram pada rakaat yang pertama, serta setelah takbir untuk berdiri dari sujud pada rakaat yang kedua. Juga dengan mengeraskan bacaan sholat, baik ia sholat sendirian, maupun berjama’ah. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan 144)
Soal: Apakah kita boleh berpuasa dua hari dalam rangka puasa hari Arafah, karena kami mendengar di radio bahwasanya hari Arafah jatuh besok bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di tempat kami?
Jawab: Hari Arafah adalah hari dimana para jama’ah haji melakukan wukuf di padang Arafah. Disyariatkan untuk berpuasa pada waktu itu bagi seorang muslim yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu, apabila anda ingin berpuasa, maka hendaklah anda berpuasa pada hari tersebut. Dan bila anda telah berpuasa sehari sebelum hari tersebut, maka tidak mengapa. Dan jika anda telah berpuasa sembilan hari mulai dari awal bulan Dzulhijjah, maka hal itu adalah baik. Hal ini dikarenakan hari-hari tersebut adalah hari-hari yang mulia yang berpuasa pada hari-hari tersebut disunnahkan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidaklah ada hari-hari yang amalan sholih didalamnya lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala daripada sepuluh hari (di awal bulan Dzulhijjah) ini.” Dikatakan: “Wahai Rasulullah, bukan jihad di jalan Allah (yang lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala)? Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab:
“Bukan jihad di jalan Allah. Melainkan (bila ada) seseorang yang keluar (untuk berjihad di jalan Allah) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dari itu semua sedikitpun.” (HR. Ahmad 1/224 no.338, Al-Bukhari no. 969, Abu Dawud no. 2438, At-Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan yang selainnya)
Wa billahit taufiq wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa aalihi wa shohbihi wa sallam. (Lihat Soal Pertama dari Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah no. 4052)
Soal: Aku mendapati pada kitab Zadul Ma’ad karya Al-Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah pernyataan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dahulu biasa melaksanakan puasa pada ayyaamul bidh, yaitu hari ke-13, 14, dan 15 pada setiap bulan hijriyah. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpuasa pada hari-hari tersebut, baik ketika beliau safar (berpergian jauh) ataupun ketika sedang bermukim (tidak dalam keadaan safar). Namun, pada tempat lain (dalam kitab tersebut -red) aku mendapati pernyataan bahwa hari-hari tasyriq adalah hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa padanya. Padahal kita mengetahui bahwa akhir dari hari tasyriq adalah tanggal 13 (termasuk salah satu dari ayyaamul bidh yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpuasa padanya-pen). Maka bagaimana kita menggabungkan kedua pernyataan ini?
Jawab: Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menghasung dan menganjurkan (umatnya) agar berpuasa selama 3 (tiga) hari pada setiap bulannya, baik (3 hari tersebut-pen) di awal bulan, pertengahan bulan, atau di akhir bulan. Namun, yang paling utama, 3 (tiga) hari tersebut adalah pada ayyaamul bidh yang bertepatan dengan tanggal 13, 14, dan 15 pada tiap bulan hijriyah. Hari-hari tersebut adalah yang paling utama -untuk berpuasa sunnah padanya-. Walaupun tidak mengapa apabila seseorang berpuasa selain pada hari-hari tersebut, dan ia sudah termasuk menunaikan syariat yang insya Allah akan mendapatkan pahala.
Adapun hari-hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, maka telah terdapat dalil tentang pengharaman puasa pada hari-hari tersebut. Hal tersebut dikarenakan hari tasyriq masih merupakan hari raya dan hari-hari untuk (merayakan hari raya dengan) makan, minum, dan berdzikir kepada Allah. Sehingga puasa pada hari-hari tersebut diharamkan, kecuali bagi seseorang yang tidak mampu membayar denda karena telah melaksanakan Haji yang Tamattu’ atau Qiron, maka ia wajib untuk berpuasa selama tiga hari ketika masih melaksanakan haji, walaupun hari-hari tersebut bertepatan dengan hari-hari tasyriq. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada hari-hari tasyriq, kecuali bagi orang yang tidak mampu membayar denda pada Haji Tamattu’ atau Qiron. Oleh karena itu, hal ini menjadi sebuah kekhususan yang dikhususkan dari keumuman larangan puasa. Namun, beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa pada hari-hari tersebut termasuk ketika bertepatan dengan ayyaamul bidh. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan no. 228)
Soal: Apakah diperbolehkan bagi seseorang untuk berpuasa pada hari-hari putih (ayyaamul bidh) yang bertepatan dengan hari tasyriq?
Jawab: Yang bertepatan dengan hari tasyriq adalah hari ke-13 bulan Dzulhijjah, dikarenakan hari-hari putih (ayyaamul bidh) itu diawali pada tanggal 13 pada setiap bulannya, dan berakhir pada tanggal 15, maka tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk berpuasa pada tanggal 13 Dzulhijjah, dikarenakan hari tersebut termasuk hari tasyriq. Rasul n telah melarang atau mengharamkan puasa bagi seseorang kecuali bagi yang wajib membayar denda pada Haji Tamattu’ dan Qiron.
Adapun yang disunnahkan adalah puasa tiga hari pada setiap bulannya. Tiga hari tersebut tidak ditentukan atau diharuskan pada hari-hari putih. Hanya saja Rasulullah n menjadikan puasa tersebut paling afdhol dikerjakan pada hari-hari putih. Apabila hari tersebut tidak bertepatan dengan sebuah kenangan seperti pada keadaan tadi. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan no. 229)
Soal: Berkaitan dengan ayyaamul bidh, apakah benar bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam samasekali tidak pernah meninggalkan puasa pada hari-hari tersebut, baik ketika beliau safar ataupun tinggal (mukim)? Atau apakah puasa tersebut hanyalah puasa sunnah?
Jawab: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dahulu senantiasa melakukan puasa sunnah. Bahkan beliau selalu berusaha memperbanyak puasa (sunnah). Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam -dikarenakan seringnya berpuasa- sampai-sampai dikatakan tidak pernah berbuka (berpuasa terus-menerus). Namun, beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga berbuka atau tidak berpuasa sampai-sampai dikatakan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak atau jarang pernah berpuasa. Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa memperbanyak puasa sunnah, baik ketika beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam safar ataupun mukim. Namun, apabila dikatakan bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa berpuasa ayyamul bidh, maka aku tidak mengetahui keterangan tentangnya sampai sekarang ini sedikitpun. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan no. 230)
Wallahu a’lam bishshowab.
Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/?p=536
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=555)

KEUTAMAAN BERQURBAN

Menyembelih hewan qurban pada hari Idul Adha adalah amal shalih yang paling utama, lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada amal yang lebih utama pada hari-hari (tasyriq) ini selain berkurban.” Para sahabat berkata, “Tidak juga jihad?” Beliau menjawab: “Tidak juga jihad. Kecuali seseorang yang keluar dari rumahnya dengan mengorbankan diri dan hartanya (di jalan Allah), lalu dia tidak kembali lagi”  (HR Bukhari).

Sedemikian agungnya syariat qurban, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami” (HR Ibnu Majah & Al-Hakim, dihasankan oleh Syaikh Albani).

Yakinlah, bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat. Malaikat yang pertama berdoa: “Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak,” sedangkan malaikat yang kedua berdoa: “Ya Allah, berikanlah kehancuran bagi orang pelit yang menahan hartanya” (HR Bukhari & Muslim).

Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla mensyariatkan ‘udhiyah (berkorban) sebagai sarana untuk bertaqarrub kepada-Nya dan sebagai kemurahan untuk umat manusia pada hari raya. Allah telah memerintahkan kepada bapak para Nabi, Ibrahim 'alaihis salam supaya menyembelih anaknya, Ismail. Lalu beliau menyambut perintah Allah tadi tanpa ragu. Karenanya Allah Ta’ala memberikan ganti dari langit sebagai tebusan bagi anaknya, “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Al-Shafat: 107).

Sejak saat itulah, umat manusia menyembelih hewan ternak dalam rangka melaksanakan perintah Allah dengan mengalirkan darah. Dan berkurban merupakan amal ketaatan yang sangat utama.

Kemudian sunnah ini diperintahkan kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dan beliau telah melaksanakannya. Diriwayatkan dalam Shahihain, “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam berkurban dua ekor domba yang putih dan bertanduk. Beliau menyembelih sendiri dengan kedua tangannya sambil menyebut nama Allah dan bertakbir serta meletakkan kakinya di samping lehernya.

Dan dalam riwayat lain dari Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhuma, “Adalah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam selama sepuluh tahun tinggal di Madinah, beliau selalu menyembelih kurban.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi, sanadnya hasan).
Sudah selayaknya setiap muslim bersemangat dalam mengikuti sunnah Nabinya Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk berkurban. Semoga dengan demikian, dia akan menjadi orang mendapatkan kecintaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran: 31)

Keutamaan Berkurban

Di antaranya sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,

مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ

Tidak ada satu amalan yang dikerjakan anak Adam pada hari nahar (hari penyembelihan) yang lebih dicintai oleh Alah 'Azza wa Jalla daripada mengalirkan darah. Sungguh dia akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, kuku dan rambutnya. Sesunggunya darahnya akan sampai kepada Allah 'Azza wa Jalla sebelum jatuh ke tanah… ” (HR. Ibnu Majah dan al-Tirmidzi, beliau menghassankannya)

Dan sabda beliau ketika di tanya apakah sembelihan ini, maka beliau menjawab, “Tuntunan ayah kalian Ibrahim.” Mereka bertanya, “Apa bagian kita darinya/apa pahala yang akan kita dapatkan?” Beliau menjawab, "Setiap helai rambut, akan dibalasi dengan satu kebaikan.” Lantas mereka bertanya, "Bagaimana dengan bulu (domba)?” Maka beliau menjawab, "Setiap bulu juga akan dibalas dengan satu kebaikan.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, beliau menghasankannya)

Hukum Berkurban Bagi yang Mampu

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum berkurban bagi yang mampu, antara wajib dan sunnah mu’akkadah. Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat, berkurban hukumnya sunnah mu’akkadah. Meninggalkannya, padahal mampu, termasuk sikap yang dibenci (makruh).

Sebagian ulama yang lain berpendapat hukumnya wajib bagi setiap keluarga muslim yang mampu melaksanakannya. Hal tersebut didasarkan kepada firman Allah Ta’ala,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)
Dan juga sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, “Siapa yang telah menyembelihnya sebelum shalat, hendaknya dia mengulanginya.” (Muttafaaq ‘alaih)

Sikap yang paling selamat yang selayaknya diambil seorang muslim, tidak meninggalkan berkurban ketika mampu, karena melaksanakan berkurban merupakan sikap yang melepaskan dirinya dari tanggungan dan tuntutan. Dan keluar darinya adalah lebih selamat. Sedangkan bagi yang tidak mampu, tidak memiliki harta kecuali sekedar mencukupi kebutuhan pokok keluarganya, maka berkorban tidak wajib atas mereka. Sedangkan siapa yang memiliki tanggungan hutang, maka selayaknya mendahulukan pembayaran hutang atas berkurban. Karena melepaskan diri dari beban tanggungan ketika mampu hukumnya wajib.

7 Hikmah dan Keutamaan Qurban 'Idul Adha

Sebentar lagi kita akan kedatangan tamu istimewa, Hari Raya ‘Idul Adha, dimana di hari itu dan hari tasyrik dilakukan penyembelihan hewan qurba. Jika Anda belum memutuskan untuk berkurban tahun ini, ada baiknya Anda menyimak hikmah dan keutamaan qurban pada hari-hari tersebut:
1. Kebaikan dari setiap helai bulu hewan kurban
Dari Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.”Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?”Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” [HR. Ahmad dan ibn Majah]
2. Berkurban adalah ciri keislaman seseorang
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
3. Ibadah kurban adalah salah satu ibadah yang paling disukai oleh Allah

Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya qurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan qurban), sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu- bulunya. Sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah –sebagai qurban– di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya.” [HR. Ibn Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi menyatakan: Hadits ini adalah hasan gharib]
4. Berkurban membawa misi kepedulian pada sesama, menggembirakan kaum dhuafa
“Hari Raya Qurban adalah hari untuk makan, minum dan dzikir kepada Allah” [HR. Muslim]
5. Berkurban adalah ibadah yang paling utama
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” [Qur’an Surat Al Kautsar : 2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan : “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya.”
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurban), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” [Qur’an Surat Al An’am : 162]
Beliau juga menegaskan: “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat…”
6. Berkurban adalah sebagian dari syiar agama Islam
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” [Qur’an Surat Al Hajj : 34]
7. Mengenang ujian kecintaan dari Allah kepada Nabi Ibrahim
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” [Qur’an Surat Ash Shaffat : 102 - 107]
Sumber : http://www.fimadani.com

Hukum Berkurban bagi yg Belum Akikah

Assalamu`alaikum  Warahmatullahi Wabaraktuh..Begini pak Ustadz,saya ingin menanyakan tentang Aqiqah.Sya seorang anak laki-laki umur 26th saya mengetahui belum pernah aqiqah ketika saya mencari tau tentang tata cara berkurban,meski sunah & sayapun saat ini belum miliki uang yang cukup tapi saya sangat berniat untuk melakukan pnyembelihan hewan kurban untuk saya,ibu saya & alm bapak saya,yaa meskipun tidak dalam satu idul adha tapi saya ingin untuk suatu saat nanti.pertanyaaan saya.
1. apa benar jika seorang belum aqiqah tidak boleh berkurban?
2. ternyata ke 2 orang tua sayapun belum aqiqah, apa boleh jika saya menghadiahkan pahala hewan kurban untuk mereka sedangkan mereka belum pernah aqiqah? Jika tidak, apa boleh jika saya menghadiahkan (membiyayai/mengAqiqahkan) ibu & alm bapak saya terlebih dahulu?

meskipun jika tidak mampu tidak harus dipaksakan tapi saya ingin tau & saya ingin melakukan sunah Rosul.
sebelumnya saya ucapkan terima kasih,Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh
Assalamu alaikum wr.wb.
Tidak ada dalil yang melarang seseorang berkurban jika belum melakukan akikah. Dengan kata lain, kurban boleh dilakukan oleh seseorang meski ia belum melakukan akikahi atau diakikahi.
Dalam hal ini hukum akikah itu sendiri adalah sunnah muakkadah. Jika mampu hendaknya dilakukan pada hari ketujuh kelahiran dan jika tidak mampu bisa ditunda kehari keempat belas, kedua puluh satu, atau kapan saja ia mampu. Bahkan meski sudah dewasa menurut sebagian ulama.
Namun demikian menurut Imam Ahmad kalau seseorang sudah berkurban, tidak perlu lagi melakukan akikah karena qurban tersebut telah mencukupi dan mewakili. Suatu ketika Imam Ahmad ditanya tentang kurban yang diperuntukkan untuk seorang anak, apakah hal itu sudah bisa menggantikan akikahnya? Beliau menjawab, "Aku tidak tahu. Akan tetapi ada yang berpendapat demikian. (Yaitu dari kalangan tabiin)." Imam Ahmad sendiri menegaskan, "Aku berharap semoga kurban yang dilakukan bisa menggantikan akikah orang yang belum diakikahi insya Allah." Demikianlah yang disebutkan dalam kitab Tuhfatul al-Maudud li Ahkamil Mawlud.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Wassalamu alaikum wr.wb. 
sumber (http://www.syariahonline.com)

Apa Tujuan Ibadah Qurban?

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Pertanyaan:
Apa maksud dari berkurban dalam tinjauan syariat?
Jawab:
Maksudnya adalah pendekatan diri kepada Allah dengan melakukan kurban yang telah Allah gandengkan bersama shalat di dalam firman-Nya:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat demi Rabbmu dan menyembelihlah.” (Al Kautsar: 2)
Demikian pula firman-Nya:
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ* لا شَرِيكَ لَهُ
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku adalah untuk Allah Rabb alam semesta. Tak ada sekutu bagi-Nya.” (Al An’am: 162-163)
Dengan demikian itu, kita mengetahui kedangkalan orang yang menduga bahwa yang dimaksud dengan berkurban adalah mengambil kemanfaatan dengan dagingnya. Sesungguhnya yang demikian ini adalah praduga yang dangkal dan lahir dari kebodohan. Maka yang dimaksud adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih. Ingatlah mengenai firman Allah Ta’ala:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.” (Al Hajj: 37)
(Diambil dari Silsilah Liqa` Babil Maftuh oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, dengan nomor kaset: 228, dinukil untuk blog ulamasunnah.wordpress.com dari buku Panduan Praktis Ibadah Kurban, Penerjemah: Al Ustadz Abdul Mu’thi Al Maidani, Penerbit Al Husna Jogjakarta)

Larangan Bagi Orang yang Ingin Berkurban

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Pertanyaan:
Apakah perbuatan yang terlarang bagi orang yang ingin berkurban bila telah masuk sepuluh (hari pertama) dari bulan Dzul hijjah? Lalu sejauh mana keshahihan sebuah hadits yang maknanya yaitu barang siapa yang ingin berkurban, maka dia tidak boleh mencukur rambut atau memotong kukunya sedikit pun sampai dia berkurban? Yang demikian itu berlangsung pada sepuluh hari pertama dari bulan Dzul hijjah. Kemudian, apakah larangan ini sampai pada tingkat haram atau hanya sekedar mustahab (sunnah)?
Jawab:
Ini adalah hadits shahih yang telah diriwayatkan oleh Muslim. Adapun hukumnya adalah haram karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إذا دخل العشر وأراد أحدكم أن يضحي فلا يأخذن من شعره ولا من ظفره شي
“Apabila telah masuk sepuluh hari (dari bulan Dzul hijjah) dan salah seorang di antara kalian ingin menyembelih, maka janganlah dia mencukur rambutnya dan memotong kukunya sedikit pun”
Dalam sebuah riwayat:
ولا من بشره
“Dan tidak pula kulitnya.”
Kata “Al Basyarah” bermakna “Al Jild” yaitu kulit. Maksudnya dia tidak mencabut sebagian dari kulitnya. Sebagaimana yang diperbuat oleh sebagian manusia yang mencabut kulit tumit dari kakinya. Pada tiga perkara inilah terletak larangan tersebut yaitu rambut, kuku, dan kulit.
Hukum asal pada larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pengharaman sampai datang dalil yang mengalihkannya kepada hukum makruh atau yang selainnya. Atas dasar keterangan ini, maka haram bagi orang yang ingin menyembelih untuk mencukur rambut, memotong kuku, dan mencabut kulitnya sedikit pun, pada sepuluh hari pertama dari bulan Dzul Hijjah sampai dia menyembelih.
Ini merupakan kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atas sekalian hambanya. Tatkala luput dari para penduduk berbagai kota, kampung, dan negeri, untuk berhaji dan menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia mensyariatkan perkara ini bagi mereka. Dia mensyariatkannya bagi mereka agar mereka bisa menyertai para jamaah haji dalam sebagian perkara, yang mereka mengibadahi Allah dengan meninggalkannya.
Si penanya berkata: “Maksudnya inikah hikmah dari pensyariatannya?”
Asy Syaikh menjawab:
Iya, hanya saja aku mengatakan yang demikian itu karena seseorang tidak boleh beribadah dengan meninggalkan atau memperbuat sesuatu melainkan harus lewat sebuah nash (dalil) dari syariat.
Jika seseorang ingin mengibadahi Allah di sela-sela sepuluh hari itu dengan tidak memotong kuku, mencukur rambut, atau mencabut kulit, dia ingin beribadah tanpa dalil yang syar’i, sungguh dia seorang ahli bid’ah lagi pendosa. Namun bila hal itu terjadi karena kandungan dalil yang syar’i, niscaya dia diberi ganjaran dan pahala, sebab dengan mennggalkan ini dia telah mengibadahi Allah.
Atas dasar keterangan ini, maka seorang yang menjauhi perbuatan mencukur rambut, memotong kuku, dan mencabut kulitnya karena ingin berkurban, dianggap sebagai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan dia diberi pahala atas amalnya tersebut. Ini merupakan kenikmatan dari Allah tanpa diragukan lagi.
(Diambil dari Fatawa Nur ‘alad Darb dengan nomor kaset: 93 oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, dinukil untuk blog ulamasunnah.wordpress.com dari buku Panduan Praktis Ibadah Kurban, Penerjemah: Al Ustadz Abdul Mu’thi Al Maidani, Penerbit Al Husna Jogjakarta)

Qurban Untuk Orang yang Sudah Meninggal Dunia

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Berqurban disyariatkan untuk yang hidup sebab tidak terdapat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabat yang aku ketahui, mereka berqurban untuk orang-orang yang sudah meninggal secara khusus / tersendiri.
Putra-putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal saat beliau masih hidup, demikian pula telah meninggal istri-istri dan kerabat-kerabatnya, Rasulullah tidak berkurban untuk satu orangpun dari mereka. Beliau tidak berqurban untuk pamannya (Hamzah), tidak juga untuk istrinya (Khodijah dan Zainab binti Khuzaimah), tidak pula untuk ketiga putrinya, dan seluruh anak-anaknya. Seandainya ini termasuk perkara yang disyariatkan, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menerangkannya dalam sunnahnya baik itu ucapan maupun perbuatan, akan tetapi hendaknya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya.
Dan adapun mengikutsertakan mayit / orang yang sudah meninggal, maka telah dijadikan dalil untuknya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuknya dan untuk keluarganya, sedangkan keluarganya mencakup istri-istrinya yang telah meninggal dan istri-istrinya yang masih hidup, dan juga beliau berqurban untuk umatnya yang di antara mereka ada yang sudah meninggal dan juga yang belum ada. Akan tetapi berqurban untuk mereka (orang-orang yang sudah meninggal) secara khusus / tersendiri, aku tidak mengetahui ada asalnya dalam sunnah.
Dinukil dari Syarhul Mumti’ 7/455, Ibnu Utsaimin
Judul Asli: Berqurban Untuk Mayit
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’ Bandung
Edisi ke-9 Tahun ke-1 / 14 Februari 2003 M / 12 Dzul Hijjah 1423 H

Keutamaan Puasa Sepuluh Hari Pertama di Bulan Dzulhijjah

Oleh: Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Pertanyaan:
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah ditanya, “Apa pendapat anda tentang pandangan orang yang mengatakan berpuasa di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah bid’ah?”
Jawaban:
Beliau menjawab, “Orang ini jahil, patut diajari. Karena Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah memotivasi untuk beramal shalih padanya, dan puasa termasuk amal shalih. Berdasarkan hadits sabda Nabi,”Tidak ada hari-hari dimana amal shalih padanya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari sepuluh ini”. Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah tidak pula Jihad Fi Sabilillah?” Beliau menjawab, “Tidak pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang berjihad dengan jiwanya dan hartanya dan tidak kembali membawa apa-apa lagi”.Hadits riwayat Al Bukhari dalam shahihnya.
Walaupun Nabi tidak pernah berpuasa pada hari-hari ini, telah diriwayatkan dari beliau bahwa beliau berpuasa padanya, dan diriwayatkan pula dari beliau bahwa beliau tidak berpuasa padanya. Akan tetapi yang jadi pegangan adalah ucapan karena ucapan lebih kuat daripada perbuatan. Dan apabila terkumpul ucapan dan perbuatan maka ini lebi kuat untuk dikatakan sunnah. Maka ucapan adalah dalil tersendiri sebagaimana perbuatan dan taqrir (persetujuan) demikian.
Apabila Nabi mengatakan suatu ucapan atau melakukan suatu perbuatan atau mempersetujuinya maka seluruhnya adalah sunnah. Akan tetapi ucapan lebih kuat kemudian perbuatan dan setelahnya persetujuan. Dan dalam hal ini Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Tidak ada hari-hari dimana amal shalih padanya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini”. Yakni sepuluh hari (pertama), maka apabila seseorang ingin berpuasa padanya atau bersedekah berarti ia di atas kebaikan yang besar. Demikian pula disyariatkan pada hari-hari tersebut bertakbir (membaca Allahu Akbar), bertahmid (membaca Alhamdulillah), dan bertahlil (membaca Laa ilaha ilallah) berdasarkan sabda Nabi, “Tidak ada hari-hari yang lebih mulia di sisi Allah dan dicintai oleh-Nya untuk beramal shalih padanya daripada hari-hari yang sepuluh ini, maka perbanyaklah oleh kalian padanya tahlil, takbir, dan tahmid”. Semoga Allah menganugrahkan taufiq-Nya kepada kita semua.”
Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abdul Barr dari:
Majmu Fatawa Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Sumber: Majalah As Salaam No IV/Th II 2006M/1426H

Targhim Ramadhan 1434 H



Pada tanggal 7 Juli 2013 Baitul maal Hidayatullah Kebumen bekerjasama dengan Pimpinan Daerah Hidayatullah Kebumen menyelenggarakan acara targhib Ramadhan 1434 H. Acara ini di laksanankan di Aula SDIT Al-Madinah Kebumen Jl. tentara Pelajar No. 48 Kebumen. Pada kegiatan kali ini mengambil tema "Raih Kemulyaan di Bulan Ramadhan" dengan Narasumber Ust. Shohibul Anwar, M.Pd.I (Ketua Pos Dai Hiidayatullah Pusat).

Selasa, 20 Agustus 2013

Wakaf Al-Qur'an di Desa Watulawang


Pada Tanggal 18 Agustus 2013 Baitul Maal Hidayatullah Cabang Kebumen kembali menyalurkan wakaf  Al-Qur'an yang merupakan amanah dari donatur. Pada kali ini BMH Kebumen menyalurkan 15 exp untuk TPQ Al-Huda desa watulawang kebumen. "Semoga dengan Adanya Al-Qur'an ini dapat memperlancar pembelajaran TPQ di desa ini dan lebih jauh lagi mampu mendorong kaum muslimin untuk belajar dan menerapkan Al-Qur'an ini dalam kehidupan sehari-hari. Karena Al-Qur'an merupakan pedoman hidup kaum muslimin sudah selayaknya kita memahami dan mengamalkan Al-Qur'an ini" Ucap salah satu Amil BMH Cab Kebumen

Silaturahmi dan Halal Bi Halal di Desa Watulawang






Pada tanggal 18 Agustus 2013 Baitul Maal Hidayatullah dan Warga Desa Watulawang mengadakan Acara Silaturahmi dan Halal Bi Halal. Acara tersebut di selengarakan di Halaman Masjid Al-Huda desa watulawang, pejagoan, Kebumen. Kegiatan ini di ikuti oleh santri TPQ, Wali santri dan warga masyarakat. Acara ini di isi dengan siraman rohani oleh ust. Fatah Banani dari Buluspesanten.

Santunan Yatim Dhuafa di Desa Watulawang

.
Salah satu kegiatan sosial Baitul Maal Hidayatullah Kebumen adalah pemberian santunan Yatim Dhuafa, Pada tanggal 18 Agustus 2013 Baitul Maal Hidayatullah Kebumen kembali memberikan santunan Yatim dhuafa di Daerah watulawang, kecamatan Pejagoan. Acara tersebut di rangkai dengan kegiatan Halal bihalal warga watulawang dan sekitarnya.

Senin, 19 Agustus 2013

kurban

bbb

th

gg

jjj

bbbb