Fatwa-fatwa Seputar Idul Kurban (1)
Para pembaca yang budiman, berikut ini
fatwa-fatwa seputar Idul Kurban yang penting diketahui oleh kaum
muslimin, terkhusus bagi saudara-saudara yang hendak berkurban.
Fatwa-fatwa tersebut kami sajikan dalam bentuk soal-jawab agar lebih
menyentuh masing-masing permasalahan. Wallahul muwaffiq.
Soal: Apa saja yang dilarang bagi orang yang hendak berkurban?
Jawab: Disyari’atkan bagi orang yang
hendak berkurban ketika telah muncul hilal bulan Dzulhijjah (tanggal 1
Dzulhijjah) agar tidak memotong rambut, kuku, dan kulitnya sampai
binatang kurbannya disembelih. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu
‘alaihi wa Sallam:
“Apabila kalian telah melihat hilal
bulan Dzulhijjah (tanggal 1 Dzulhijjah) sedangkan salah seorang diantara
kalian hendak berkurban, maka hendaknya ia menahan diri dari memotong
rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain:
“Apabila telah masuk sepuluh hari
pertama bulan Dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian hendak
berkurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kulitnya sedikitpun.”
(HR. Muslim)
Larangan ini hanya berlaku bagi orang
yang akan berkurban, dan tidak berlaku bagi keluarganya, baik yang
menyembelih sendiri atau yang mewakilkan kepada orang lain. (Lihat
Fatawa Lajnah Da’imah no. 2194)
Soal: Apa saja syarat-syarat hewan kurban?
Jawab: Syarat-syarat hewan kurban ada empat;
Syarat pertama: hewan kurban harus dari
jenis hewan yang telah ditetapkan dalam syari’at untuk dijadikan kurban,
yaitu unta, sapi, dan kambing. Oleh karenanya, jika berkurban berupa
kuda, maka kurban tersebut tidak sah. Hal ini karena kuda bukan dari
jenis yang ditetapkan syari’at sebagai hewan kurban, walaupun bisa jadi
harganya lebih mahal dari unta, sapi, atau kambing. Dalilnya adalah
sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang melakukan
suatu amalan yang tidak ada padanya perintah dari kami, maka amalan
tersebut tertolak.”
Syarat kedua: hewan kurban telah
mencapai batasan umur minimal yang ditetapkan syari’at. Jika kambing
jenis domba, maka telah mencapai usia setengah tahun. Jika kambing
kacang/jawa (ma’iz) telah genap berumur setahun, sedangkan sapi telah
genap berumur dua tahun, dan unta telah genap berumur lima tahun. Hal
ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Janganlah
kalian menyembelih hewan kurban, kecuali bila hewan tersebut telah
mencapai usia musinnah (unta berumur lima tahun, sapi berumur dua tahun,
kambing berumur satu tahun). Namun jika kalian kesulitan, maka silahkan
menyembelih domba yang telah berumur enam bulan (jadza’ah).”
Syarat ketiga: hewan kurban tersebut
selamat dari cacat yang membuatnya tidak layak untuk dikurbankan. Hal
ini telah disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam: “Empat bentuk cacat yang tidak boleh ada pada hewan kurban: buta
sebelah matanya yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang
yang jelas pincangnya dan kurus yang tidak bersumsum.” (HR. Abu Dawud)
Keempat cacat tersebut menghalangi
keabsahan hewan kurban. Bila seseorang menyembelih hewan kurban berupa
kambing yang matanya buta sebelah dan jelas butanya, maka kurbannya
tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang
sakit yang jelas sakitnya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia
menyembelih hewan kurban berupa kambing yang pincang yang jelas
pincangnya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan
kurban berupa kambing yang kurus sekali (yang tidak bersumsum), maka
kurbannya tidak diterima. Begitu pula yang lebih parah dari cacat yang
telah disebutkan di atas, seperti buta kedua matanya, putus kakinya,
tertimpa sesuatu yang menjadi penyebab kematiannya seperti induk yang
kesulitan dalam melahirkan anak -kecuali bila melahirkan dengan
selamat-. Begitu pula dengan yang tercekik, dipukul, jatuh,
ditanduk/tertusuk benda tajam, atau digigit hewan buas. Bila seseorang
berkurban dengan hewan kurban yang semisal ini, maka kurbannya tidak
diterima. Karena yang demikian itu lebih tidak pantas/tidak layak untuk
dipersembahkan sebagai kurban. Adapun cacat-cacat lain yang lebih ringan
dari yang disebutkan di atas, seperti telinganya terpotong, tanduknya
patah, ekornya putus, maka berkurban dengan hewan kurban seperti ini
masih diterima. Meskipun padanya terdapat sedikit cela/cacat. Tidak ada
perbedaan antara yang terpotong, patah, atau putus sedikit ataupun
banyak. Sampai-sampai seandainya tanduk hewan kurban tersebut patah
keseluruhannya pun masih diterima/sah bila berkurban dengannya. Begitu
pula dengan telinga atau ekornya. Namun, semakin sempurna hewan kurban
tersebut, semakin afdhal (utama) untuk dipersembahkan sebagai hewan
kurban.
Syarat yang keempat: Penyembelihan hewan
kurban tersebut harus dilaksanakan di waktu yang telah ditentukan Nabi
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, yakni dari setelah shalat Idul Adha sampai
akhir hari tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah-red). Batas waktunya selama 4
(empat) hari, yaitu mulai setelah shalat Idul Adha dan tiga hari
setelahnya. Barangsiapa menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat Id,
maka kurbannya tidak sah, walaupun ia seorang yang belum mengerti
tentang waktu sahnya penyembelihan kurban. Hal ini sebagaimana sabda
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam saat beliau berkhutbah: “Barangsiapa
menyembelih hewan kurban sebelum shalat Id, maka kurbannya tidak sah.”
Kemudian berdirilah seorang pria yang bernama Abu Burdah bin Niyar
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
telah berkurban/menyembelih hewan kurbanku sebelum shalat Id,” maka
beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Kambingmu itu kambing
sembelihan biasa,” beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
“Barangsiapa menyembelih hewan kurban sebelum shalat, maka kurbannya
tidak sah,” dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda: “maka
hendaklah ia menyembelih yang lain sebagai gantinya (di waktu yang sah
untuk menyembelih-red).” Barangsiapa menyembelih hewan kurban setelah
berakhirnya hari tasyriq, maka kurbannya tidak sah. Hal itu karena ia
menyembelih diluar waktunya. Jadi syarat-syarat penyembelihan hewan
kurban adalah sebagai berikut:
1. dari jenis binatang ternak (yang
telah ditetapkan dalam syari’at untuk menyembelih dengannya-red), yaitu
unta, sapi, dan kambing.
2. telah mencapai umur yang ditetapkan
syari’at: yaitu mencapai usia musinnah yaitu 5 tahun untuk unta, 2 tahun
untuk sapi, dan 1 tahun untuk kambing kacang/jawa (ma’iz); atau usia
jadza’ah (6 bulan) untuk domba.
3. selamat dari empat cacat yang telah disebutkan di atas.
4. dilakukan pada waktu yang telah
ditentukan. Adapun yang lebih mencocoki syari’at dalam masalah jumlah
hewan yang akan dikurbankan adalah tidak berlebihan jumlahnya.
Sebagaimana telah dicontohkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para
salafush shalih, seorang muslim berkurban untuk dirinya sendiri, dan
keluarganya dengan satu hewan kurban. Namun pada masa ini, seorang istri
datang kepada suaminya seraya mengatakan: “Aku ingin berkurban”,
kemudian datang putrinya mengatakan: “Aku ingin berkurban”, lalu datang
saudarinya mengatakan: “Aku ingin berkurban”, sehingga dalam sebuah
rumah tersebut terkumpul beberapa kurban. Hal ini menyelisihi apa yang
telah dilakukan para salafush shalih. Sungguh, manusia termulia, Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, tidaklah berkurban kecuali dengan
satu hewan kurban untuk dirinya dan keluarganya. Padahal, sebagaimana
yang telah diketahui, beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memiliki
sembilan istri (yang berarti beliau juga memiliki sembilan rumah).
Bersamaan dengan itu, tidaklah beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
berkurban kecuali dengan satu hewan kurban, untuknya dan keluarganya.
Dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkurban satu lagi untuk
ummatnya. (Lihat Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dalam
Liqo` Al-Bab Al- Maftuh)
Soal: Apa perbedaan antara takbir mutlak
dan takbir muqayyad pada hari Idul Fitri dan Idul Adha? Kapan
dimulainya dan kapan berakhirnya? Tolong beri kami penjelasan! Semoga
Allah membalas kebaikanmu.
Jawab: Perbedaan antara takbir mutlak
dan takbir muqayyad ialah, bahwa takbir mutlak dilakukan pada setiap
waktu, sedangkan takbir muqayyad dilakukan setiap selesai dari shalat
lima waktu pada hari raya Idul Adha saja. Takbir mutlak pada hari raya
Idul Adha dimulai semenjak masuk bulan Dzulhijjah sampai akhir hari
tasyrik yaitu pada hari ketiga setelah Id. Adapun pada hari raya Idul
Fitri semenjak masuk bulan Syawwal sampai ditegakkannya shalat Idul
Fitri. Takbir muqayyad sebagaimana dikatakan para ulama, dilakukan
setelah selesai shalat fajar (subuh) pada hari ‘Arafah sampai
berakhirnya hari-hari tasyrik. (Ditulis pada tanggal 2 Dzulhijjah 1415H.
Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-
‘Utsaimin no. 5831)
Soal: Siapakah yang berhak untuk
diberi daging hewan kurban, dan apa hukumnya memberikan daging kurban
kepada orang yang menyembelihkan hewan kurban tersebut? Bagaimana
hukumnya menunda pembagian daging kurban (bukan pada hari disembelihnya
hewan kurban tersebut)?
Jawab: Orang yang berkurban hendaklah
memakan sebagian dari hasil sembelihannya. Sebagian dari hasil
sembelihannya yang lain hendaknya diberikan kepada orang-orang fakir
miskin agar mereka dapat menutupi kebutuhan pada hari itu. Juga kepada
karib kerabat sebagai perwujudan silaturrahim (menyambung tali
persaudaraan). Kemudian kepada tetangga agar timbul kerukunan dalam
bertetangga dan saling tolong menolong. Serta kepada teman-teman untuk
mempererat dan memperkuat tali persaudaraan sesama muslim. Bersegera
dalam memberikan hasil sembelihan di hari raya Idul Adha lebih baik
dibanding menundanya sampai hari kedua dan setelahnya. Karena yang
demikian dapat melegakan, dan memberikan kegembiraan kepada mereka di
hari itu. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah ‘Azza wa Jalla
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
: “Bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan (bersegera) menuju surga yang seluas langit dan bumi.” (Ali Imron: 133).
Juga firman-Nya
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ
(yang artinya): “Maka bergegaslah melakukan kebaikan.” (Al- Baqarah: 148)
Tidak mengapa memberikan daging hasil
sembelihan pada orang yang menyembelihkan hewan kurban, namun jangan
diniatkan sebagai imbalan untuknya. Jika ingin memberi imbalan, maka
hendaknya diberi dari selain daging hasil sesembelihan. Wa billahit
taufiq. (Lihat Fatawa Lajnah Da’imah no. 5612)
Wallahu ta’ala a’lam bish showab
Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/?p=534
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=552)
Fatwa-fatwa Seputar Idul Kurban (2)
Para Pembaca rahimakumullah, edisi kali
ini merupakan kelanjutan dari edisi sebelumnya dengan judul Fatwa-fatwa
Seputar Idul Kurban. Kami angkat beberapa permasalahan penting terkait
dengan beberapa jenis ibadah yang bisa diamalkan di bulan Dzulhijjah.
Selamat menyimak dan semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Soal: Apa hukum berpuasa pada sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah?
Jawab: Puasa pada hari-hari tersebut
adalah sunnah (mustahab), karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
menganjurkan dan mendorong umatnya untuk melakukan amalan-amalan sholih
pada hari-hari tersebut, dan puasa termasuk bagian dari amalan-amalan
sholih. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:
“Tidak ada hari-hari dimana amalan
sholih didalamnya lebih Allah cintai daripada sepuluh hari (pertama)
bulan Dzulhijjah.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bukan pula
jihad di jalan Allah? Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Bukan pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar (untuk
berjihad di jalan Allah-red) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak
kembali darinya (jiwa dan hartanya) sedikitpun.” (HR. Al-Bukhari no.
969, dan At-Tirmidzi no. 757)
Walaupun dahulu Nabi Shalallahu ‘alaihi
wa Sallam tidak sering berpuasa pada hari-hari tersebut. Telah
diriwayatkan bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpuasa pada
hari-hari tersebut karena kekhawatiran beliau Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam akan dianggap wajib oleh umatnya. Diriwayatkan pula bahwa beliau
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa pada hari-hari tersebut.
Akan tetapi, yang lebih utama menjadi patokan adalah sabda Nabi
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, karena sabda beliau lebih didahulukan
daripada perbuatan. Jika terkumpul antara perkataan dan perbuatan, maka
keduanya saling menguatkan. Oleh karena itu, perkataan terhitung sebagai
dalil tersendiri, perbuatan sebagai dalil tersendiri, dan taqrir
(persetujuan) pun sebagai dalil tersendiri. Yang paling utama dan paling
kuat sebagai hujjah (dalil) adalah perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam, kemudian perbuatan beliau, dan setelahnya persetujuan beliau
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidak ada hari-hari yang amalan sholih
didalamnya lebih Allah cintai daripada hari-hari ini, yakni sepuluh hari
(pertama bulan Dzulhijjah).” (HR. Al-Bukhari no. 926, At-Tirmidzi
no.757, Abu Dawud no. 2438, Ibnu Majah no. 1727, Ahmad 1/224, dan
Ad-Darimi no. 1773)
Apabila seseorang berpuasa atau
bershadaqah pada hari-hari tersebut, ia berada dalam kebaikan yang
sangat besar. Disyari’atkan pula pada hari-hari tersebut untuk
memperbanyak takbir (Allahu Akbar), tahmid (Alhamdulillah), dan tahlil
(Laa ilaha illallah), dengan dalil sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam:
“Tidak ada hari-hari yang lebih besar di
sisi Allah, dan lebih dicintai-Nya dengan melakukan amalan-amalan
sholih didalamnya daripada sepuluh hari (awal bulan Dzulhijjah) ini.
Oleh karenanya, perbanyaklah untuk bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.”
(HR. Ahmad 2/75)
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Baz 14/419)
Hukum-hukum Sholat Dua Hari Raya
Soal: Apabila seorang makmum
tertinggal satu rakaat pada sholat Id, apakah wajib untuk bertakbir
beberapa kali sebagaimana takbirnya imam sebelum membaca Al-Fatihah
ataukah tidak?
Jawab: Barangsiapa yang tertinggal
sholat Id atau sholat Istisqo` (meminta hujan), maka disukai
(mustahab/sunnah) baginya untuk menggantinya (mengqodho`) sebagaimana
tata cara sholat Id dilakukan. Jika tertinggal seluruhnya, maka
hendaknya ia mengganti (mengqodho`) sholat seluruhnya sebagaimana tata
cara sholat Id, termasuk diantaranya melakukan takbir-takbir tambahan
setelah takbiratul ihram. Demikian juga bila ia terlewat sebagiannya,
seperti tertinggal rakaat pertama misalnya, maka hendaknya ia tetap
sholat mengikuti imam sampai imam tersebut mengucapkan salam. Setelah
itu, barulah ia menyempurnakan sholatnya sesuai jumlah rakaat yang ia
tertinggal, dan dilakukan sebagaimana tata cara sholat Id, yaitu dengan
melakukan takbir-takbir setelah takbiratul ihram. Hal ini karena tata
cara qodho` sholat Id (secara sendirian) seperti tata cara ketika
menunaikannya (secara berjamaah). Wallahu a’lam. (Lihat Al-Muntaqo min
Fatawa Al-Fauzan no. 143)
Soal: Apa hukum orang yang
tertinggal sholat Idul Fitri atau Idul Adha? Apakah ia menggantinya
(qodho`) sebagaimana tata cara sholat Id atau cukup dengan melakukan
sholat 2 (dua) rakaat saja atau apa yang mesti ia dilakukan? Kami mohon
fatwanya. Jazakumullohu khoiron (Semoga Allah membalas kebaikan Anda).
Jawab: Barangsiapa yang tertinggal
sholat Id, maka boleh meng-qodho`-nya (menggantinya) dengan sholat 2
(dua) rakaat, yang ia bertakbir dengan takbir-takbir tambahan setelah
takbiratul ihram pada rakaat yang pertama, serta setelah takbir untuk
berdiri dari sujud pada rakaat yang kedua. Juga dengan mengeraskan
bacaan sholat, baik ia sholat sendirian, maupun berjama’ah. (Lihat
Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan 144)
Soal: Apakah kita boleh berpuasa
dua hari dalam rangka puasa hari Arafah, karena kami mendengar di radio
bahwasanya hari Arafah jatuh besok bertepatan dengan tanggal 8
Dzulhijjah di tempat kami?
Jawab: Hari Arafah adalah hari dimana
para jama’ah haji melakukan wukuf di padang Arafah. Disyariatkan untuk
berpuasa pada waktu itu bagi seorang muslim yang tidak sedang
melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu, apabila anda ingin berpuasa,
maka hendaklah anda berpuasa pada hari tersebut. Dan bila anda telah
berpuasa sehari sebelum hari tersebut, maka tidak mengapa. Dan jika anda
telah berpuasa sembilan hari mulai dari awal bulan Dzulhijjah, maka hal
itu adalah baik. Hal ini dikarenakan hari-hari tersebut adalah
hari-hari yang mulia yang berpuasa pada hari-hari tersebut disunnahkan.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidaklah ada hari-hari yang amalan
sholih didalamnya lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanallahu
wa Ta’ala daripada sepuluh hari (di awal bulan Dzulhijjah) ini.”
Dikatakan: “Wahai Rasulullah, bukan jihad di jalan Allah (yang lebih
baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala)? Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab:
“Bukan jihad di jalan Allah. Melainkan
(bila ada) seseorang yang keluar (untuk berjihad di jalan Allah) dengan
jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dari itu semua sedikitpun.”
(HR. Ahmad 1/224 no.338, Al-Bukhari no. 969, Abu Dawud no. 2438,
At-Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan yang selainnya)
Wa billahit taufiq wa shollallahu ‘ala
nabiyyina Muhammadin wa aalihi wa shohbihi wa sallam. (Lihat Soal
Pertama dari Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah no. 4052)
Soal: Aku mendapati pada kitab
Zadul Ma’ad karya Al-Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah pernyataan bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dahulu biasa melaksanakan puasa
pada ayyaamul bidh, yaitu hari ke-13, 14, dan 15 pada setiap bulan
hijriyah. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpuasa pada hari-hari
tersebut, baik ketika beliau safar (berpergian jauh) ataupun ketika
sedang bermukim (tidak dalam keadaan safar). Namun, pada tempat lain
(dalam kitab tersebut -red) aku mendapati pernyataan bahwa hari-hari
tasyriq adalah hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa padanya. Padahal
kita mengetahui bahwa akhir dari hari tasyriq adalah tanggal 13
(termasuk salah satu dari ayyaamul bidh yang Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa Sallam berpuasa padanya-pen). Maka bagaimana kita
menggabungkan kedua pernyataan ini?
Jawab: Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
menghasung dan menganjurkan (umatnya) agar berpuasa selama 3 (tiga)
hari pada setiap bulannya, baik (3 hari tersebut-pen) di awal bulan,
pertengahan bulan, atau di akhir bulan. Namun, yang paling utama, 3
(tiga) hari tersebut adalah pada ayyaamul bidh yang bertepatan dengan
tanggal 13, 14, dan 15 pada tiap bulan hijriyah. Hari-hari tersebut
adalah yang paling utama -untuk berpuasa sunnah padanya-. Walaupun tidak
mengapa apabila seseorang berpuasa selain pada hari-hari tersebut, dan
ia sudah termasuk menunaikan syariat yang insya Allah akan mendapatkan
pahala.
Adapun hari-hari tasyriq, tanggal 11,
12, dan 13 Dzulhijjah, maka telah terdapat dalil tentang pengharaman
puasa pada hari-hari tersebut. Hal tersebut dikarenakan hari tasyriq
masih merupakan hari raya dan hari-hari untuk (merayakan hari raya
dengan) makan, minum, dan berdzikir kepada Allah. Sehingga puasa pada
hari-hari tersebut diharamkan, kecuali bagi seseorang yang tidak mampu
membayar denda karena telah melaksanakan Haji yang Tamattu’ atau Qiron,
maka ia wajib untuk berpuasa selama tiga hari ketika masih melaksanakan
haji, walaupun hari-hari tersebut bertepatan dengan hari-hari tasyriq.
Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada hari-hari
tasyriq, kecuali bagi orang yang tidak mampu membayar denda pada Haji
Tamattu’ atau Qiron. Oleh karena itu, hal ini menjadi sebuah kekhususan
yang dikhususkan dari keumuman larangan puasa. Namun, beliau Shalallahu
‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa pada hari-hari tersebut termasuk ketika
bertepatan dengan ayyaamul bidh. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan
no. 228)
Soal: Apakah diperbolehkan bagi
seseorang untuk berpuasa pada hari-hari putih (ayyaamul bidh) yang
bertepatan dengan hari tasyriq?
Jawab: Yang bertepatan dengan hari
tasyriq adalah hari ke-13 bulan Dzulhijjah, dikarenakan hari-hari putih
(ayyaamul bidh) itu diawali pada tanggal 13 pada setiap bulannya, dan
berakhir pada tanggal 15, maka tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk
berpuasa pada tanggal 13 Dzulhijjah, dikarenakan hari tersebut termasuk
hari tasyriq. Rasul n telah melarang atau mengharamkan puasa bagi
seseorang kecuali bagi yang wajib membayar denda pada Haji Tamattu’ dan
Qiron.
Adapun yang disunnahkan adalah puasa
tiga hari pada setiap bulannya. Tiga hari tersebut tidak ditentukan atau
diharuskan pada hari-hari putih. Hanya saja Rasulullah n menjadikan
puasa tersebut paling afdhol dikerjakan pada hari-hari putih. Apabila
hari tersebut tidak bertepatan dengan sebuah kenangan seperti pada
keadaan tadi. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan no. 229)
Soal: Berkaitan dengan ayyaamul
bidh, apakah benar bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
samasekali tidak pernah meninggalkan puasa pada hari-hari tersebut, baik
ketika beliau safar ataupun tinggal (mukim)? Atau apakah puasa tersebut
hanyalah puasa sunnah?
Jawab: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam dahulu senantiasa melakukan puasa sunnah. Bahkan beliau selalu
berusaha memperbanyak puasa (sunnah). Beliau Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam -dikarenakan seringnya berpuasa- sampai-sampai dikatakan tidak
pernah berbuka (berpuasa terus-menerus). Namun, beliau Shalallahu
‘alaihi wa Sallam juga berbuka atau tidak berpuasa sampai-sampai
dikatakan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak atau jarang pernah
berpuasa. Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
senantiasa memperbanyak puasa sunnah, baik ketika beliau Shalallahu
‘alaihi wa Sallam safar ataupun mukim. Namun, apabila dikatakan bahwa
beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa berpuasa ayyamul bidh,
maka aku tidak mengetahui keterangan tentangnya sampai sekarang ini
sedikitpun. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan no. 230)
Wallahu a’lam bishshowab.
Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/?p=536
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=555)